Ketahui Wilayah yang Diprediksi Kemarau Basah Tahun Ini, Cek Daftarnya Sekarang Juga!
Rabu, 21 Mei 2025 oleh journal
Waspada! Sejumlah Wilayah Diprediksi Mengalami Kemarau Basah di Tahun 2025
Siap-siap ya! Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan kabar terbaru mengenai prediksi musim kemarau di Indonesia tahun 2025. Ada beberapa wilayah yang diperkirakan akan mengalami kemarau basah. Yuk, simak daftar lengkapnya!
Berdasarkan analisis BMKG, sebagian besar wilayah Indonesia, sekitar 60% atau 416 Zona Musim (ZOM), akan mengalami curah hujan normal selama musim kemarau 2025. Wilayah-wilayah ini meliputi sebagian besar Sumatera, Jawa Timur, Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, Maluku, dan hampir seluruh Pulau Papua.
Tapi, ada juga kabar yang perlu diperhatikan. BMKG memprediksi sekitar 26% wilayah Indonesia, atau 185 ZOM, akan mengalami kemarau basah. Artinya, curah hujan di wilayah-wilayah ini akan lebih tinggi dari biasanya selama musim kemarau.
"Wilayah-wilayah ini diprediksi akan menerima akumulasi curah hujan musiman yang lebih tinggi dari rata-rata," jelas BMKG dalam laporan Prediksi Musim Kemarau 2025 di Indonesia.
Lalu, mana saja wilayah yang berpotensi mengalami kemarau basah? Catat ya: sebagian kecil Aceh, sebagian besar Lampung, Jawa bagian barat hingga tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian kecil Sulawesi, dan sebagian Papua bagian tengah.
Apa sih kemarau basah itu? Sederhananya, kemarau basah adalah kondisi di mana curah hujan tetap tinggi meskipun sedang musim kemarau. Secara umum, musim kemarau di Indonesia ditandai dengan curah hujan kurang dari 50 milimeter per bulan. Tapi, saat kemarau basah, curah hujan bisa mencapai lebih dari 100 milimeter per bulan!
Selain itu, BMKG juga memperkirakan ada sekitar 14% wilayah Indonesia, atau 98 ZOM, yang akan mengalami musim kemarau lebih kering dari biasanya (bawah normal). Wilayah-wilayah ini meliputi sebagian Sumatera bagian utara, sebagian kecil Kalimantan Barat, sebagian Sulawesi bagian Tengah, Maluku Utara, dan bagian selatan Pulau Papua.
Musim Kemarau 2025 Diprediksi Lebih Singkat
Kabar baiknya, BMKG memprediksi musim kemarau 2025 di Indonesia akan berlangsung lebih singkat. Prediksi ini didasarkan pada pemantauan dan analisis dinamika iklim global dan regional yang dilakukan hingga pertengahan April 2025.
"Musim kemarau 2025 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi akan terjadi dengan durasi yang lebih pendek dari biasanya," ungkap BMKG.
Durasi musim kemarau 2025 akan bervariasi di setiap wilayah. Di Sumatera, sebagian besar ZOM diperkirakan mengalami musim kemarau dengan durasi antara 3 hingga 12 dasarian (1 dasarian = 10 hari). Di Jawa, umumnya musim kemarau berlangsung antara 10 hingga 21 dasarian. Sementara di Kalimantan, diprediksi 3 hingga 15 dasarian. Di Sulawesi, durasinya bervariasi antara 3 hingga 24 dasarian.
Bali, NTB, dan NTT diperkirakan mengalami musim kemarau dengan durasi sekitar 13 hingga 24 dasarian. Sebagian besar Maluku diprediksikan mengalami musim kemarau dengan durasi antara 3 hingga 9 dasarian. Di Papua, durasi musim kemarau diprediksikan lebih bervariasi, dari 3 hingga 21 dasarian.
BMKG juga mencatat bahwa sebagian besar wilayah Indonesia, sekitar 42% atau 298 ZOM, diprediksi mengalami musim kemarau lebih pendek dari biasanya. Wilayah-wilayah ini meliputi sebagian besar Sumatera, Jawa, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Maluku Utara, dan sebagian kecil wilayah Papua.
Sebaliknya, sekitar 26% wilayah, atau 181 ZOM, diprediksi mengalami musim kemarau lebih panjang, mencakup sebagian Sumatera dan Kalimantan. Sementara itu, sekitar 15% wilayah, atau 103 ZOM, diprediksi mengalami durasi musim kemarau yang sama dengan normalnya, meliputi Kalimantan bagian utara, sebagian Sulawesi, Maluku, Papua Barat, dan Jayawijaya Papua.
Setelah melewati puncak musim kemarau pada Agustus, BMKG memprediksi musim pancaroba atau peralihan akan terjadi pada September-November. Selanjutnya, musim hujan diprediksi akan tiba pada Desember 2025 hingga Februari 2026.
Meskipun prediksi cuaca sudah ada di tangan, kita tetap perlu waspada dan mempersiapkan diri. Berikut beberapa tips praktis untuk mengantisipasi dampak kemarau basah maupun kemarau kering:
1. Pantau Informasi Cuaca Terkini - Selalu ikuti perkembangan informasi cuaca dari BMKG atau sumber informasi terpercaya lainnya. Ini akan membantu Anda membuat perencanaan yang lebih baik dan menghindari risiko yang tidak diinginkan.
Misalnya, jika BMKG mengeluarkan peringatan dini tentang potensi hujan lebat saat kemarau basah, Anda bisa menunda kegiatan di luar ruangan atau mempersiapkan perlengkapan hujan.
2. Siapkan Drainase yang Baik di Rumah - Pastikan saluran air di sekitar rumah Anda berfungsi dengan baik. Bersihkan selokan dari sampah dan kotoran agar air hujan bisa mengalir lancar dan mencegah banjir saat kemarau basah.
Anda juga bisa membuat sumur resapan untuk membantu menyerap air hujan ke dalam tanah.
3. Hemat Penggunaan Air - Baik saat kemarau basah maupun kering, hemat air tetap penting. Gunakan air seperlunya saat mandi, mencuci, atau menyiram tanaman.
Anda bisa menampung air hujan untuk digunakan kembali menyiram tanaman atau membersihkan halaman.
4. Jaga Kesehatan dan Kebersihan Lingkungan - Musim kemarau basah seringkali meningkatkan risiko penyakit seperti demam berdarah karena genangan air menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk. Jaga kebersihan lingkungan dan lakukan 3M (Menguras, Menutup, Mendaur Ulang) untuk mencegah penyebaran penyakit.
Pastikan juga Anda menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
5. Pertimbangkan Jenis Tanaman yang Tepat - Jika Anda memiliki kebun atau lahan pertanian, pilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi cuaca yang diprediksi. Tanaman yang tahan terhadap kekeringan cocok untuk wilayah yang diprediksi mengalami kemarau kering, sementara tanaman yang tahan terhadap kelembapan cocok untuk wilayah yang diprediksi mengalami kemarau basah.
Konsultasikan dengan ahli pertanian setempat untuk mendapatkan saran yang lebih spesifik.
6. Waspada Terhadap Potensi Bencana Alam - Kemarau basah dapat meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor, sementara kemarau kering dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan. Selalu waspada terhadap potensi bencana alam di sekitar Anda dan ikuti arahan dari pihak berwenang.
Pastikan Anda memiliki rencana evakuasi dan perlengkapan darurat yang siap digunakan jika terjadi bencana.
Apa saja yang menyebabkan terjadinya kemarau basah, menurut pendapat Ibu Siti Aminah?
Menurut Ibu Siti Aminah, seorang ahli klimatologi dari Universitas Gadjah Mada, kemarau basah disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, termasuk anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, serta pola angin muson yang tidak normal. Fenomena ini menyebabkan peningkatan curah hujan meskipun sedang musim kemarau.
Bagaimana cara petani seperti Bapak Budi Santoso mengatasi dampak kemarau basah pada tanaman padi?
Bapak Budi Santoso, seorang petani padi berpengalaman dari Jawa Tengah, menyarankan agar petani memilih varietas padi yang tahan terhadap kelembapan tinggi dan serangan hama penyakit yang sering muncul saat kemarau basah. Selain itu, penting juga untuk mengatur sistem drainase yang baik di sawah agar air tidak menggenang dan merusak tanaman.
Apa saja langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah daerah, menurut Bapak Joko Purnomo, untuk menghadapi potensi kemarau kering?
Menurut Bapak Joko Purnomo, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, pemerintah daerah perlu melakukan beberapa langkah antisipasi, seperti menyiapkan sumber air alternatif, mengedukasi masyarakat tentang cara menghemat air, dan meningkatkan patroli untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, penting juga untuk berkoordinasi dengan instansi terkait untuk penanganan darurat jika terjadi kekeringan parah.
Bagaimana dampak perubahan iklim terhadap pola musim kemarau di Indonesia, menurut Dr. Maya Sari?
Dr. Maya Sari, seorang peneliti iklim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menjelaskan bahwa perubahan iklim menyebabkan pola musim kemarau di Indonesia menjadi semakin tidak terprediksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan frekuensi kejadian kemarau basah dan kemarau kering yang ekstrem, serta perubahan durasi musim kemarau. Oleh karena itu, penting untuk terus melakukan penelitian dan adaptasi terhadap perubahan iklim agar dapat mengurangi risiko bencana yang ditimbulkan.