Temukan Fakta Baru, Sejarah Direvisi demi kebenaran terungkap
Rabu, 14 Mei 2025 oleh journal
Sejarah yang Ditulis Ulang: Antara Fakta dan Interpretasi
Setiap bangsa memiliki cara sendiri dalam membangun narasi sejarahnya. Kita cenderung melihat ke masa lalu, mengagungkan pahlawan, mungkin menyembunyikan aib, atau bahkan melupakan mereka yang dianggap pengkhianat. Indonesia pun tak terkecuali.
Namun, bayangkan jika panggung sejarah itu kini sedang ditata ulang. Mungkin diperindah, mungkin juga diubah sesuai keinginan. Inilah yang tengah menjadi perbincangan hangat.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon—yang kali ini bukan seorang akademisi, melainkan seorang politisi—mengutarakan niatnya untuk menulis ulang sejarah nasional. Ia melibatkan ratusan sejarawan dan tokoh terkemuka sebagai kurator. Alasannya? "Demi menyongsong 80 tahun kemerdekaan Indonesia," ujarnya.
Dalam menelusuri sejarah, bukan hanya siapa yang berbicara yang penting, tetapi juga siapa yang menulis. Mengapa? Karena sejarah, pada dasarnya, adalah kekuasaan. Ia bukan sekadar catatan kejadian lampau, tetapi juga alat untuk membentuk masa depan. Apa yang tertulis akan menjadi ingatan kolektif, sementara yang dihilangkan perlahan akan dilupakan.
Tak heran jika rencana ini menimbulkan pro dan kontra. Ada kekhawatiran bahwa sejarah dapat—atau bahkan sedang—dirangkai sedemikian rupa layaknya pidato kampanye: terdengar indah, namun sarat dengan kepentingan tertentu.
Kita tumbuh besar dengan sejarah versi Orde Baru. Dalam buku-buku pelajaran, pahlawan adalah mereka yang setia pada negara, sedangkan musuh adalah PKI. Tidak ada ruang untuk sudut pandang alternatif. Gerwani hanya digambarkan sebagai simbol kekejaman. Soekarno ditampilkan sebagai tokoh dengan akhir yang tragis. Sementara Soeharto? Sosok yang membawa kemakmuran, nyaris tanpa cela.
Seiring berjalannya waktu, narasi tersebut mulai mendapat perlawanan. Reformasi membawa angin segar kebebasan berekspresi. Buku-buku sejarah alternatif mulai bermunculan. Nama-nama yang dulu tabu kini mulai diperbincangkan.
Namun, tetap saja, sejarah kita belum sepenuhnya plural. Ia masih dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa dan bagaimana kekuasaan itu memilih untuk mengingat.
Kini, di bawah slogan "penulisan ulang," negara kembali hadir sebagai penentu narasi. Sejarah akan dibingkai ulang, katanya, agar lebih lengkap dan mutakhir. Pertanyaannya adalah: lengkap menurut siapa? Mutakhir untuk siapa? Apakah ini upaya jujur untuk membuka semua versi sejarah, atau hanya cara halus untuk menutupi luka lama?
Bahaya yang Mengintai
Penulisan ulang sejarah bukanlah sekadar urusan teknis. Ia adalah ranah ideologi. Oleh karena itu, bahaya selalu mengintai jika kekuasaan memiliki pengaruh yang terlalu besar dalam proses penyusunannya. Sejarah dapat berubah menjadi legenda, dan fakta menjadi propaganda.
Kita sudah pernah mengalami hal ini. Di masa Orde Baru, sejarah ditulis untuk membenarkan kekuasaan, bukan untuk mengungkap kebenaran.
Hai teman-teman! Mempelajari sejarah itu seru, tapi juga penting untuk dilakukan dengan bijak. Biar kita nggak gampang termakan informasi yang kurang tepat, yuk simak beberapa tips berikut ini:
1. Jangan hanya baca satu sumber - Sejarah itu kompleks, jadi jangan cuma mengandalkan satu buku atau artikel aja. Coba cari berbagai sumber, baik dari buku, jurnal ilmiah, maupun website terpercaya. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih utuh.
Misalnya, kalau kamu lagi belajar tentang G30S PKI, jangan cuma baca buku pelajaran yang kamu dapat di sekolah. Coba cari juga artikel dari sejarawan yang berbeda pendapat, atau tonton film dokumenter dari berbagai sudut pandang.
2. Kritis terhadap informasi yang kita dapat - Setiap penulis punya sudut pandang sendiri, jadi jangan telan mentah-mentah semua informasi yang kita baca. Coba tanyakan pada diri sendiri: Siapa penulisnya? Apa latar belakangnya? Apakah ada kepentingan tertentu yang memengaruhi tulisannya?
Contohnya, kalau kamu baca artikel tentang seorang tokoh pahlawan, coba cari tahu juga kritik terhadap tokoh tersebut. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih seimbang.
3. Perhatikan konteks sejarah - Setiap peristiwa sejarah terjadi dalam konteks tertentu. Jadi, penting untuk memahami latar belakang sosial, politik, dan ekonomi pada saat itu. Dengan begitu, kita bisa lebih memahami mengapa suatu peristiwa terjadi.
Misalnya, kalau kita belajar tentang penjajahan Belanda, kita perlu memahami kondisi ekonomi dan politik di Eropa pada saat itu. Mengapa Belanda tertarik untuk menjajah Indonesia? Apa dampaknya bagi masyarakat Indonesia?
4. Diskusikan dengan orang lain - Belajar sejarah akan lebih seru kalau kita diskusikan dengan teman, guru, atau keluarga. Dengan berdiskusi, kita bisa mendapatkan sudut pandang yang berbeda dan memperluas wawasan kita.
Coba deh, ajak teman-temanmu untuk nonton film sejarah bareng, lalu diskusikan apa yang kalian pelajari dari film tersebut. Pasti seru!
5. Manfaatkan teknologi - Sekarang ini, banyak sekali sumber belajar sejarah yang tersedia secara online. Kita bisa mencari informasi di website, menonton video di YouTube, atau bahkan mengikuti kursus online gratis. Manfaatkan teknologi untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah.
Misalnya, coba cari website museum-museum di Indonesia. Biasanya, mereka punya koleksi online yang bisa kita akses dari mana saja.
6. Jangan takut bertanya - Kalau ada hal yang kurang jelas, jangan ragu untuk bertanya kepada guru, dosen, atau ahli sejarah lainnya. Tidak ada pertanyaan yang bodoh. Justru dengan bertanya, kita bisa belajar lebih banyak.
Coba deh, kirim email ke sejarawan yang kamu kagumi. Siapa tahu, beliau bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaanmu tentang sejarah.
Apakah benar, kata Bambang, bahwa sejarah selalu ditulis oleh pihak yang menang?
Menurut Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan senior dari LIPI, pernyataan tersebut mengandung kebenaran, namun tidak sepenuhnya tepat. Memang, pihak yang berkuasa seringkali memiliki kesempatan lebih besar untuk membentuk narasi sejarah. Namun, seiring waktu, narasi alternatif dan interpretasi baru selalu muncul, menantang versi yang dominan. Penting bagi kita untuk selalu bersikap kritis dan membuka diri terhadap berbagai perspektif.
Menurut pendapat Ratna, mengapa rencana penulisan ulang sejarah ini menimbulkan kontroversi?
Seperti yang diungkapkan oleh Bonnie Triyana, seorang kurator sejarah dan jurnalis, kontroversi muncul karena adanya kekhawatiran bahwa proses penulisan ulang sejarah akan dipolitisasi. Sejarah yang ideal adalah sejarah yang jujur, terbuka terhadap berbagai interpretasi, dan tidak digunakan sebagai alat propaganda. Kehadiran negara sebagai penentu tunggal narasi dapat memicu kecurigaan bahwa kebenaran sejarah akan dikorbankan demi kepentingan politik tertentu.
Apa dampak penulisan sejarah versi Orde Baru terhadap pemahaman kita tentang PKI, menurut Santi?
Sejarawan Hilmar Farid, yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan, menjelaskan bahwa penulisan sejarah versi Orde Baru cenderung menyederhanakan dan mendemonisasi PKI. Narasi yang dibangun adalah narasi hitam putih, di mana PKI digambarkan sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas tragedi 1965. Akibatnya, masyarakat kurang mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang kompleksitas peristiwa tersebut dan peran aktor-aktor lain yang terlibat.
Bagaimana cara kita memastikan bahwa sejarah yang ditulis ulang nanti lebih objektif dan inklusif, menurut Joko?
Menurut Anhar Gonggong, seorang sejarawan senior, kunci untuk menciptakan sejarah yang lebih objektif dan inklusif adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin perspektif. Kita perlu mendengar suara-suara dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan. Selain itu, penting untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip akademik dan menghindari intervensi politik dalam proses penulisan sejarah.
Apa pesan yang ingin disampaikan oleh pemerintah dengan rencana penulisan ulang sejarah ini, menurut Maya?
Seperti yang disampaikan oleh Fadli Zon sendiri, tujuan dari penulisan ulang sejarah adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan mutakhir tentang masa lalu Indonesia. Namun, penting untuk diingat bahwa niat baik saja tidak cukup. Proses penulisan ulang sejarah harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik yang luas agar hasilnya dapat diterima oleh semua pihak.